Seni Di Kota Tua Jakarta
Siapa bilang wong cilik di Jakarta hanya menimbulkan
masalah sosial dan lingkungan, serta mengotori jalan dan trotoar? Mereka adalah
kelompok yang tersingkir dari kehidupan kota yang semakin modern. Sama nasibnya
dengan kota tua yang bertembok kusam dan cat kusennya sudah lama terkelupas, terpinggirkan
oleh bagian kota yang baru, berlantai granit yang mengkilat, kusennya dari
alumunium, berdinding kaca yang menyilaukan. Tulisan ini akan membahas wong
cilik dari sudut yang berbeda. Wong Cilik yang menyalurkan bakat positifnya
melalui guratan kuas di atas kanvas, coretan sketsa pensil di atas kertas yang
memiliki nilai seni.
Lihatlah misalnya, di trotoar Jalan Pintu besar Jakarta
terdapat pelukis-pelukis jalanan, wong cilik yang berkarya melalui naluri seni:
lukisan. Mereka melukis wajah orang serta bagian kota lama untuk mencari
nafkah. Para pelukis ini menggelar lukisannya di pinggir trotoar, terlindungi
dari hujan dan terik matahari oleh tenda atau lantai atas deretan rumah toko
yang menjorok keluar. Bagi yang tertarik dengan jasa ini dapat meninggalkan
foto yang akan di lukis dengan pensil hitam dengan ongkos Rp 400 ribu Rupiah. Tetapi,
wong cilik ini bukan hanya melukis dengan pensil, juga dengan Cat minyak yang berwarna
baik lukisan wajah ataupun bangunan-bangunan di kota tua
Para pelukis ini dengan expresinya juga melukis mural di
dinding rumah yang tidak berpenghuni. Lukisan mereka tampak jelas dari seberang
jalan, memeriahkan suasana macet kota Jakarta. Dengan ekspresi kritik yang tegas, di tahun
2001 mereka melukis tokoh-tokoh politik yang sedang berada di atas panggung
Indonesia. Secara diam-diam seorang profesor dari universitas Leiden yang
kebetulan lewat memotretnya untuk menjadi bagian dari makalah tentang kota Jakarta.
Di pintu toko yang tertutup selama tujuh belas tahun,
semenjak kerusuhan di tahun 1998, mereka menggantungkan bermacam-macam lukisan.
Ditembok rumah yang tidak terurus mereka berekspesi berekspresi melalui lukisan
untuk melupakan kondisi ekonomi yang menderanya menjadi pelukis jalanan. Kota
Jakarta yang modern sudah tidak mau melirik mereka lagi, menghempaskan mereka
ke kota tua yang tidak terurus. Pelukis Jalanan ini adalah pencipta keindahan
yang terkubur oleh gemerlap kota, seperti kota lama Jakarta yang tersingkir
oleh bagian kota modern yang gemerlapan.
Para pelukis ini mencurahkan bakatnya di atas trotoar
yang jarang di lalui orang, di depan ruko yang tidak berpenghuni. Memang sejak
kerusuhan 1998 banyak bangunan yang rusak dan dibiarkan oleh penghuninya,
sehingga tetumbuhan muncul di lantai atas yang tidak terurus. Para pemilik
rumah kosong ini trauma terhadap kerusuhan yang menghancurkan harta miliknya. Namun
di depan rumah kosong mereka justru menjadi tempat bagi para pelukis ini untuk berkarya.
Seni lukis seperti di Jalan Pintu Besar ini haruslah di
kembangkan untuk menghidupkan kota tua. Di kota-kota tua di Eropa misalnya,
dapat di temui para pelukis jalanan yang menjadi pusat perhatian para pejalan
kaki. Di Paris banyak para pelukis yang melukis sudut kota dan reproduksi
lukisannya dijual di kios-kios pinggir jalan. Di tepi kanal-kanal kota
Amsterdam juga terdapat para pelukis yang menjadi pusat kerumunan para pejalan
kaki yang kemudian membeli lukisan itu.
Kota yang benar adalah kota yang mampu merangkul para
senimannya. Kota yang mengangkat harkat pelukis dan memberinya tempat. Lukisan
di sepenggal trotoar Jalan Pintu Besar mungkin tidak sebanding dengan lukisan
di galeri pelukis ternama, tetapi mereka, wong cilik ini, yang membuat kota tua
tetap hidup walaupun sekarat.
Di Pasar baru, pada bagian pinggir Jalan Samanhudi, juga
terdapat penjual lukisan dan rangka lukisan atau foto. Kiosnya menempel di trotoar
dan menyita tempat bagi para pejalan kaki. Jika banjir datang mereka buru-buru
menyelamatkan lukisan-lukisan itu. Setelah jalanan kering kembali mereka
menggelar kembali lukisannya di “galeri tenda”nya.
Dari wawancara, kebanyakan mereka adalah pelukis yang
bukan berasal dari sekolah seni. Mereka secara otodikdak senang melukis dan akhirnya
mencari nafkah dengan keahlian seninya melukis. Semua pekerjaan seni memang
bermula dari kesenangan, hobi, baik itu seni lukis atau seni yang lain. Kemampuan
seni itu akan berkembang jika pemerintah, baik pemerintah kota ataupun
pemerintah pusat serius dalam mengembangkan seni di Indonesia khususnya di kota
tua Jakarta.
Ironisnya, para pelukis di kota tua Jakarta seakan
berjalan sendiri. Mereka menggantungkan lukisannya di tempat yang tidak banyak
di kunjungi para wisatawan sehingga tidak bisa menjadi bagian dari atraksi
pariwisata. Seni di Kota Tua adalah bagian dari cara menghidupkan kota lama.
Trotoar kota lama seharusnya menjadi gallery lukisan bagi
semua orang, bukan terpencil seperti di trotoar Jalan Pintu Besar. Warga kota seharusnya
merasa bangga dan berharga tatkala berjalan disitu, mengapreasi dan mengkritik
hasil seni para pelukis Jakarta. Sehingga Trotoar kota lama bukan hanya tempat
para pelukis dari golongan bawah yang tidak dapat pameran di galeri, juga
merupakan tempat bagi para pelukis terkenal untuk membuka galerinya di sana. Kota
tua Jakarta adalah rumah para pelukis dan seniman pada umumnya. Mungkinkah?
No comments:
Post a Comment