Monday, May 4, 2015

Akhir dari Satu Kisah: Lasem !

Gang Gambiran Lasem

Lasem adalah kota kecil di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kota ini dari jaman Majapahit sampai dengan kemerdekaan RI 1945 memiliki peran yang penting di dalam sejarah. Artefak kotanya terbentuk secara organis dan telah menjadi baku. Pola-pola rumahnya merupakan perkawinan antara arsitektur Cina Selatan dan Arsitektur Jawa Majapahit yang bersenyawa melalui proses berabad-abad. Perbedaan yang jelas dengan arsitektur Cina bukan hanya pada atap yang memiliki teritisan (arsitektur Cina tidak mengenal teritisan), tetapi juga pendopo di bagian depan rumah. Bahkan, pola gubahan masanyapun berbeda.

Kota ini menjadi sekarat karena ditinggalkan orang mudanya yang pergi merantau ke kota-kota besar. Lasem adalah kota yang penuh dengan orang-orang tua. Mereka kebanyakan tinggal berdua suami-isteri didalam rumah yang sangat besar dengan gerbang yang indah serta tata-ruang yang menakjubkan. Walaupun sekarat, ia tetap hidup karena beberapa orang dari pedalaman datang kemari untuk mengadu nasib.

Pada dekade tahun 70 an, dengan adanya program pelebaran jalan, banyak sekali gerbang-gerbang yang indah dirusak. Tahun ini (1991) kembali Pemerintah Daerah datang untuk melebarkan jalan lagi. Tanpa tanggung-tanggung, kali ini jalan raya Lasem akan kehilangan ciri khasnya. Sungguh ironis jika ditilik dengan semboyan pariwisata "Visit Indonesia Year 1991". Karena salah satu promosi pariwisata diperlukan kota antik, dan Lasem adalah kota tersebut.

Boleh saja mengganti bangunan kuno yang indah dengan bangunan baru. Namun sayang disain yang baru sama sekali tidak pantas dihargai di dalam percaturan arsitektur.

Melalui tulisan ini, hendaknya yang bersangkutan berhenti melebarkan jalan karena selain merusak arsitektur, juga tidak realistis, karena melebarkan jalan dengan tujuan kelancaran lalu lintas, malahan membuka arena balapan truk-truk gandengan dan bus-bus antar kota. Perlu diketahui disini bahwa truk-truk dan bus-bus ini hanya lewat saja tanpa memberi nilai ekonomis yang menguntungkan bagi Lasem. Cuma bus-bus yang jurusan Lasem - Kudus saja mau ngetem di Lasem. Itupun di terminal yang terletak di sebelah barat kota, jauh sebelum memasuki kotanya.

Lasem yang disebut sebagai "Contra Evolution City" seharusnya dapat menjadi penyusunan teori baru guna mengantitesa tumbuhnya Grossstadt dan Metropolis. Sekarang, kota ini didalam keadaan gawat-darurat, sedang menghadapi kehancuran arsitektural.

Lasem bukanlah Pompei yang mati dan tinggal bekas-bekas hunian manusia.  Kota di ujung timur Jawa Tengah ini bukan pula Estergom (Hunggaria) yang sunyi senyap di hari kerja dan baru ramai di akhir pekan. Lasem bagaikan Freiburg, kotanya Heideger dan Husserl yang bertopang pada lekukan bukit-bukit dan lembah-lembah "BlackForest". la bagaikan anggur "Schwarzwald" dan sungai Rhein yang beriak ditingkah kapal kecil. Lasem adalah keagungan cipta manusia didalam mewujudkan hirarki ruang yang tersusun bertahap dari jalan raya hingga masuk ke pintu kamar. Berjalan di kota ini bagaikan masuk ke dalam satu misteri tanpa akhir; Mulai dari misteri hilangnya kerajaan Jawa Bhre Lasem. hingga tiadanya orang bemama keluarga "Han". Jalan-jalan di Lasem adalah jalinan sutera yang tiada putus, tak kalah agungnya dari pada Praha di Eropa Tengah. Namun sayang, ia bagaikan Asisi yang direndam didalam ketidaktahuan dan kebodohan umat manusia.

Jika jalan adalah konglomerasi keindahan arsitektur, dan pelebaran jalan adalah menghancurkan konglomerasi itu sendiri, tentunya kita wajib beitanya: "Siapakah yang tega menghancurkan keindahan dan sejarah?" Tentu hanya mereka yang telah buta mata hatinya, padam perasaannya sehingga tidak pernah mengalami sentuhan estetika. Sudah saatnya, kita gugat pelebaran jalan lewat Arsitektur Pembebasan ! ! !

No comments:

Post a Comment