Kota Kontemporer Le Corbusier
Memang semenjak awal mula pemukiman manusia, keberadaan jalan adalah merupakan tempat transportasi atau perpindahan manusia dan barang secara ekonomis. Mulai dari jalan berbatu yang hanya bisa dilewati kereta berkuda hingga jalan modem yang dilengkapi dengan berbagai teknologi.
Le Corbusier didalam imajinasinya tentang kota kontemporer membuat ketegasan tentang fungsi jalan sebagai alur transportasi sehingga badan jalan menjadi lebar dan jauh dari tempat manusia bercengkerama. Kota untuk 3 juta penduduk adalah wujud dari idealisme transportasi dan bangunan tinggi.
Namun semua itu adalah kritiknya terhadap Hausman yang meremajakan kota Paris dengan membuka jalan-jalan baru. Walaupun jalan-jalan baru tadi tersulam rapi dengan "tissue" yang sudah ada, menurut Le Corbusier, Hausman menciptakan corridor lalu lintas untuk itu, sambungnya lagi butuh keseimbangan antara ruang terbuka dan ruang yang tertutup bangunan, sehingga bangunan tinggi yang dikelilingi oleh taman terbuka kiranya mampu menjawab modernisasi.
Secara keseluruhan kota kontemporer dengan pola jalan yang baku, tetap saja menghadapi banyak kelemahan karena jalan merupakan keseimbangan antara tata guna tanah dan fungsinya sebagai prasarana oleh transportasi. Sehingga kota kontemporer seharusnya terbuka kemungkinan pertumbuhan lahan-lahan baru seperti halnya yang terjadi di Indonesia dimana pembangunan jalan lingkar untuk mengatasi transportasi, malah mengundang pertumbuhan tata guna tanah yang baru dan akhimya menimbulkan masalah transportasi yang baru pula.
Lebih dari itu Le Corbusier lupa bahwa selain jalan berfungsi sebagai prasarana transportasi, ia juga berfungsi sebagai tempat komunikasi antar manusia. Amos Rapoport memberikan gambaran yang jelas tentang hal ini: Jika pemukiman dilihat sebagai satu area kehidupan, maka jalan menjadi tempat untuk bercanda, bertemu dengan teman, tempat berekreasi, ataupun medan pertengkaran mulut dengan tetangga. Sebaliknya, ada pula pemukiman yang memiliki jalan hanya sebagai penghubung satu tempat dengan tempat yang lain, dan tidak ada orang yang menggunakannya sebagai tempat berkomunikasi. Dengan demikian, jalan merupakan ruang terbuang percuma. Pendapat ini sangat penting jika jalan dipandang sebagai ruang (space), sebagai tempat manusia berkomunikasi.
Akan tetapi, jika jalan diperhitungkan sebagai tempat antara dua deret bangunan, maka yang terjadi adalah komunikasi visual antara manusia dengan jalan sebagai tempat (place) yang ditandai oleh bangunan-bangunan di pinggirnya. Berbeda dengan jalan sebagai ruang (space) untuk ngobrol. jalan sebagai tempat (place) dengan bangunan bangunan di kedua sisinya adalah merupakan street picture (gambar jalan) yakni; kumpulan atau urut-urutan bangunan yang berfungsi sebagai penuntut manusia untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Sehingga, kebingungan akan muncul kalau bentuk bangunan-bangunan di situ seragam, sama semua.
Dengan demikian, benarlah apa yang dikatakan Aldo Rossi bahwa kota adalah kumpulan ingatan secara kolektif. Kumpulan arsitektur di pinggir jalan adalah diakronik dan sekaligus sinkronik. Diakronik dalam arti jalan sebagai fakta nyata sejarah manusia yang menghuni kota, sedang sinkronik berarti jalan menggambarkan keadaan penghuni yang ada sekarang. Penghancuran bangunan-bangunan kuno seperti mencuci otak manusia dengan menghilangkan ingatannya. Di sini lah sebenamya letak kerawanan hancurnya jalan-jalan kota di Indonesia yang selalu dilebarkan dengan "mengepras" bangunan-bangunan sebagai kolektifitas ingatan.
Sehubungan dengan koraunikasi visual diatas, maka bisa dikatakan bahwa jalan adalah satu konglomerasi arsitektur. Keindahan arsitektur bukan dilihat dari wujud tunggal satu bangunan, namun lebih dari itu adalah konteksnya dengan bangunan-bangunan yang lain. Pada jalanlah sebenamya bisa dilihat betapa kota merupakan sebuah pekerjaan seni perancangan. Kontekstual yang berdimensi ke empat yakni waktu. Sehingga, secara singkat bisa dikatakan bahwa jalan kota adalah wujud harmonisasi antara yang lama dan yang baru.
Le Corbusier didalam imajinasinya tentang kota kontemporer membuat ketegasan tentang fungsi jalan sebagai alur transportasi sehingga badan jalan menjadi lebar dan jauh dari tempat manusia bercengkerama. Kota untuk 3 juta penduduk adalah wujud dari idealisme transportasi dan bangunan tinggi.
Namun semua itu adalah kritiknya terhadap Hausman yang meremajakan kota Paris dengan membuka jalan-jalan baru. Walaupun jalan-jalan baru tadi tersulam rapi dengan "tissue" yang sudah ada, menurut Le Corbusier, Hausman menciptakan corridor lalu lintas untuk itu, sambungnya lagi butuh keseimbangan antara ruang terbuka dan ruang yang tertutup bangunan, sehingga bangunan tinggi yang dikelilingi oleh taman terbuka kiranya mampu menjawab modernisasi.
Secara keseluruhan kota kontemporer dengan pola jalan yang baku, tetap saja menghadapi banyak kelemahan karena jalan merupakan keseimbangan antara tata guna tanah dan fungsinya sebagai prasarana oleh transportasi. Sehingga kota kontemporer seharusnya terbuka kemungkinan pertumbuhan lahan-lahan baru seperti halnya yang terjadi di Indonesia dimana pembangunan jalan lingkar untuk mengatasi transportasi, malah mengundang pertumbuhan tata guna tanah yang baru dan akhimya menimbulkan masalah transportasi yang baru pula.
Lebih dari itu Le Corbusier lupa bahwa selain jalan berfungsi sebagai prasarana transportasi, ia juga berfungsi sebagai tempat komunikasi antar manusia. Amos Rapoport memberikan gambaran yang jelas tentang hal ini: Jika pemukiman dilihat sebagai satu area kehidupan, maka jalan menjadi tempat untuk bercanda, bertemu dengan teman, tempat berekreasi, ataupun medan pertengkaran mulut dengan tetangga. Sebaliknya, ada pula pemukiman yang memiliki jalan hanya sebagai penghubung satu tempat dengan tempat yang lain, dan tidak ada orang yang menggunakannya sebagai tempat berkomunikasi. Dengan demikian, jalan merupakan ruang terbuang percuma. Pendapat ini sangat penting jika jalan dipandang sebagai ruang (space), sebagai tempat manusia berkomunikasi.
Akan tetapi, jika jalan diperhitungkan sebagai tempat antara dua deret bangunan, maka yang terjadi adalah komunikasi visual antara manusia dengan jalan sebagai tempat (place) yang ditandai oleh bangunan-bangunan di pinggirnya. Berbeda dengan jalan sebagai ruang (space) untuk ngobrol. jalan sebagai tempat (place) dengan bangunan bangunan di kedua sisinya adalah merupakan street picture (gambar jalan) yakni; kumpulan atau urut-urutan bangunan yang berfungsi sebagai penuntut manusia untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Sehingga, kebingungan akan muncul kalau bentuk bangunan-bangunan di situ seragam, sama semua.
Dengan demikian, benarlah apa yang dikatakan Aldo Rossi bahwa kota adalah kumpulan ingatan secara kolektif. Kumpulan arsitektur di pinggir jalan adalah diakronik dan sekaligus sinkronik. Diakronik dalam arti jalan sebagai fakta nyata sejarah manusia yang menghuni kota, sedang sinkronik berarti jalan menggambarkan keadaan penghuni yang ada sekarang. Penghancuran bangunan-bangunan kuno seperti mencuci otak manusia dengan menghilangkan ingatannya. Di sini lah sebenamya letak kerawanan hancurnya jalan-jalan kota di Indonesia yang selalu dilebarkan dengan "mengepras" bangunan-bangunan sebagai kolektifitas ingatan.
Sehubungan dengan koraunikasi visual diatas, maka bisa dikatakan bahwa jalan adalah satu konglomerasi arsitektur. Keindahan arsitektur bukan dilihat dari wujud tunggal satu bangunan, namun lebih dari itu adalah konteksnya dengan bangunan-bangunan yang lain. Pada jalanlah sebenamya bisa dilihat betapa kota merupakan sebuah pekerjaan seni perancangan. Kontekstual yang berdimensi ke empat yakni waktu. Sehingga, secara singkat bisa dikatakan bahwa jalan kota adalah wujud harmonisasi antara yang lama dan yang baru.
No comments:
Post a Comment