Monday, May 4, 2015

Konsep Kota

Kota adalah Teater Yang Sepi: Schiphol Amsterdam

Dari sudut yang filosifis, dalam kaitannya dengan sejarah, kota terdiri dari beberapa lapis yang saling tumpang tindih dari waktu ke waktu. Sebagai superimposisi berbagai lapisan jaman, kota bisa diibaratkan sebagai novel tebal yang terbagi dalam banyak bagian dan bab yang bergerak kearah beberapa puncak sebuah cerita. Kota juga sebuah teater kehidupan yang nyata dimana selain bangunan sebagai latar sebuah panggung adalah juga para politisi yang mengatur kota sering korup dan menyakitkan. Berbeda dengan desa yang adem ayem, kota merupakan rimba belantara yang penuh dengan kelicikan mulai dari suap menyuap, sampai dengan pelacuran yang sangat terbuka. Dinamika sebuah kota barangkali terletak dari sejauh mana teater tadi berdialog antara satu aktor dengan aktor yang lain. Tetapi jangan lupa kota juga teater yang sepi. Di banyak negara maju, kereta bawah tanah yang penuh sesak ternyata dipenuhi dengan orang yang saling diam tak saling mengenal, kesepian ditengah keterburu-buruan. Dari segi yang beragam inilah sebuah kota akan kita soroti dari segi sejarah. Tentu bukan pekerjaan mudah karena sejarah berarti waktu yang berdialektika. Sedang kota sering mengalami keberhentian waktu karena drama yang ditampilkan kehilangan nyawanya..

Di berbagai penjuru dunia jatuh bangunya sebuah rezim terletak di kota. Bangkitnya dinasti Ming di Tiongkok misalnya, ditandai dengan perpindahan ibukota dari Xi’An ke Beijing. Demikian juga di pulau Jawa, runtuhnya Majapahit ditandai dengan munculnya kota Demak sebagai sebuah kerajaan di Jawa. Bahkan di kehidupan modernpun demikian. Jatuhnya rezim-rezim di Indonesia modern terletak di kota jakarta dan bukan di perdesaan. Karena itu tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa panggung teater pergantian rezim adalah kota dengan benteng dan segala kekuatan ekonominya.

Kota sama dengan manusia, dia Lahir dan bisa mati. Lahirnya suatu kota ditandai dengan tumbuhnya simpul perdagangan di perempatan baik persimpangan sungai ataupun jalan. Dipersimpangan inilah perdagangan dalam bentuk yang paling sederhana dilakukan. Pertumbuhan kota ini dapat terhenti karena perang ataupun bencana alam. Pompei barangkali contoh sebuah kota yang mati. Disana hanya tertinggal berbagai artefak kebudayaan yang tersisa sedang kehidupan itu sendiri telah pergi. Bukan hanya satu kota keseluruhan saja yang binasa, tetapi juga bagian dari sebuah kota dapat menjadi mati walauipun dikelilingi oleh bagian kota lain yang hidup. Yang kedua ini kita lihat di Roma. Bagian kota lama Roma yang disebut dengan Foro Romano telah mati sedang disekitarnya merupakan metropolis. Selain itu kota juga dapat hilang sejarahnya walaupun kota itu sendiri masih ada.  Xi’ An misalnya sebuah kota tua, lebih tua dari tulisan cina, hanya tersisa tembok kota dan bangunan seperti menara lonceng dan menara drum. Rumah tinggal rakyat biasa dan kebudayaannya telah menghilang seolah ditelah waktu itu sendiri. Disini kota tidak berdialektika tetapi berhenti dari denyut nadi dinamika waktu. Dari sini dapat kita bedakan antara arkeologi dan arsitektur, arkeologi mengamati bagian kota yang mati sedang arsitektur mengolah bagian kota yang masih hidup.

No comments:

Post a Comment