Candi Baru Semarang 1939
Di Indonesia, perencanaan kota muncul pada awal abad ini, selaras dengan datangnya teknologi otomotif yang mulai membanjiri berbagai kota besar. Thomas Karsten barangkali tepat disebut sebagai Bapak perencana kota Indonesia. Karyanya antara lain: Nieuw Tjandi (Semarang), Bogor, dan Malang. Keunggulan-keunggulan disain Karsten adalah pada kombinasi disain-disain rumah dengan ruang-ruang terbuka, perkawinan antara perumahan villa, rumah toko dan perkampungan di tengah-tengahnya, type-type rumah villa yang didisain dengan "pas" untuk iklim tropis, jalan-jalan pun ditanami pohon yang rindang agar teduh. Sayang, Karsten diinternir pada jaman pendudukan Jepang. Perencanaan kota juga terhenti karena suasana darurat perang. Jalanpun lebih berfungsi sebagai prasarana militerisasi.
Selama periode 1945-1950, keadaan kota di Indonesia berada di dalam keadaan kacau. Perang kemerdekaan menghadapi Belanda yang ingin kembali ke Indonesia terpaksa harus menghancurkan fasilitas-fasilitas kota. Baru setelah tahun 1950, tatkala perang kemerdekaan berakhir. dengan kemampuan yang terbatas, kota-kota mulai dibenahi, tetapi masuknya para urbanisator membuat kota menjadi sarat, ibarat kapal yang sarat penumpang, kotapun menjadi kekurangan tempat tinggal, perkantoran, rumah sakit dan Iain-lain.
Penataan kota kembali muncul pada jaman orde baru yang mengacu kepada penyusunan Masterplan kota dan Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK). Pada tiap-tiap Masterplan dasar pemikiran yang dipakai adalah perhitungan jumlah penduduk dan kebutuhan fasilitas lingkungan. Perencanaan pengembangan dan peremajaan kota bergerak mulai dari Program perbaikan Kampung (Kampong Improvement Programme), pembangunan pemukiman baru, pelebaran jalan, sampai normalisasi drainase kota. Bagi mereka yang tertinggal, hidup di kota bukan hanya membanting tulang untuk sesuap nasi, tetapi juga harus siap selalu sedia untuk digusur dan dipindahkan dengan paksa ke bagian wilayah kota yang lain. Sayangnya Masterplan yang seharusnya "baku" tanpa bisa ditawar untuk diubah, seringkali dapat diganti oleh mereka yang memiliki kekuatan untuk itu. Masterplan kota sekarang ini lebih banyak diganti oleh negosiasi, negosiasi antara pemilik modal dan penguasa.
Tatkala Thomas Karsten merentangkan perencanaan kota di Indonesia, tentunya tidak perlu sepusing sekarang karena pertumbuhan penduduk kota masih relatif rendah. Pada waktu itu penghuni kota sebagian besar masih para penguasa Belanda, priyayi, dan bangsa-bangsa asing yang berdagang disitu. Dari kondisi tersebut tentunya dasar perencanaannya pun tidak begitu berbeda dengan kota-kota di Belanda yang pertumbuhan penduduknya tidak begitu tinggi.
Setelah perang dunia ke II padam dan revolusi teknologi berjalan lebih cepat, kota-kota di Indonesia dan Belanda berkembang lewat sisi yang berbeda. Sekarang di Belanda dan negara-negara maju lainnya, muncul satu sektor ekonomi baru yang disebut sebagai produksi pelayanan (pro¬duction services). Mereka tidak lagi dibuat repot untuk meletakkan daerah perindustrian di kota karena industri-industri otomotif yang memerlukan tenaga kerja murah guna menjaga pangsa pasar, mereka lempar ke negara-negara dunia ketiga. Jangan heran jika orang mengatakan bahwa kota industri terbesar Jerman Barat adalah Sao paolo di Brasil. Sedang pelayanan telepon, perbankan, informasi, menjadi fokus perencanaan mereka. Dilain pihak kota di dunia ketiga dihinggapi satu sektor ekonomi informal yang mengganggu keindahan kota. Kota menjadi magnit urbanisasi, pertumbuhan penduduk yang berlipat ganda membuat fasilitas-fasilitas kota tidak mampu mewadahinya lagi. Membesarnya jumlah penduduk dan membengkaknya mobilisasi yang tidak diikuti oleh pembangunan transportasi masal membuat pelebaran jalan menjadi logika yang sesuai guna pembangunan itu sendiri. Jalan yang dulu oleh Thomas Karsten di perindah dengan pepohonan sekarang harus ditebang karena jalan tadi harus diperlebar.
Kondisi jalan yang semakin tidak manusiawi, telah banyak membuat frustasi manusia. Andreas Harsono pada Kolom Harian Suara Merdeka menulis sebagai berikut:
(...) Pak tua itu hanya mengeluh dalam. Dahulu kala jaman mudanya pulang pergi dari rumah ke kantor biasa ditempuh dengan sepeda............ Waktu itu di tepian jalan penuh dengan pepohonan ............. jalanan jadi teduh. Udara tidak ganas seperti sekarang ........... Tetapi entah mengapa pepohonan itu ditebang satu persatu. Mula-mula di jalan raya .... lalu .... pohon-pohon di jalan yang lain (...) (Andreas Harsono).
Kisah tentang perasaan orang tua akan perubahan teknologi perkotaan yang semakin tidak manusiawi ini menjadi menarik jika dipasangkan dengan tulisan seorang pembaca D.Subroto yang mengajak pembaca lain untuk berangkat ke kantor dengan jalan kaki sehingga ongkos transportasi kota yang Rp 200 sekali jalan itu dapat ditabung untuk membeli bus:
Guna mengurangi kebutuhan transport dikemudian hari secara gotong royong kita melakukan gerak jalan untuk sekali berangkat diwaktu pagi menuju ke kantor/tempat pekerjaan satu kali jalan .....jadi biaya yang Rp 200 ditabung setelah cukup untuk membeli kendaraan bus (...) (D.Subroto)
Ajakan yang bernada humor ini ditekankannya sebagai serius! Satu hal yang menarik dari tulisan-tulisan ini adalah ungkapan rasa frustrasi akan pembangunan kota yang "semrawut" penuh dengan kendaraan bermesin dan menepis pejalan kaki dari jalan yang seharusnya mereka miliki, serta ongkos transportasi kota yang akhir-akhir ini naik menyesuaikan diri dengan harga BBM.
Dua penulis tersebut tentunya mewakili keinginan masyarakat akan perubahan didalam perencanaan kota yang berakibat pada peningkatan kwalitas jalan agar lebih manusiawi. Didalam tulisan saya kali ini, saya tidak akan mempermasalahkan kerindangan, polusi dan sebagainya. Tulisan ini akan menghubungkan jalan dengan gubahan masa arsitektur di kedua tepinya. Untuk itu perlu kiranya kita bedakan 3 macam kota yang berbeda perubahan besarnya secara arsitektur.
Selama periode 1945-1950, keadaan kota di Indonesia berada di dalam keadaan kacau. Perang kemerdekaan menghadapi Belanda yang ingin kembali ke Indonesia terpaksa harus menghancurkan fasilitas-fasilitas kota. Baru setelah tahun 1950, tatkala perang kemerdekaan berakhir. dengan kemampuan yang terbatas, kota-kota mulai dibenahi, tetapi masuknya para urbanisator membuat kota menjadi sarat, ibarat kapal yang sarat penumpang, kotapun menjadi kekurangan tempat tinggal, perkantoran, rumah sakit dan Iain-lain.
Penataan kota kembali muncul pada jaman orde baru yang mengacu kepada penyusunan Masterplan kota dan Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK). Pada tiap-tiap Masterplan dasar pemikiran yang dipakai adalah perhitungan jumlah penduduk dan kebutuhan fasilitas lingkungan. Perencanaan pengembangan dan peremajaan kota bergerak mulai dari Program perbaikan Kampung (Kampong Improvement Programme), pembangunan pemukiman baru, pelebaran jalan, sampai normalisasi drainase kota. Bagi mereka yang tertinggal, hidup di kota bukan hanya membanting tulang untuk sesuap nasi, tetapi juga harus siap selalu sedia untuk digusur dan dipindahkan dengan paksa ke bagian wilayah kota yang lain. Sayangnya Masterplan yang seharusnya "baku" tanpa bisa ditawar untuk diubah, seringkali dapat diganti oleh mereka yang memiliki kekuatan untuk itu. Masterplan kota sekarang ini lebih banyak diganti oleh negosiasi, negosiasi antara pemilik modal dan penguasa.
Tatkala Thomas Karsten merentangkan perencanaan kota di Indonesia, tentunya tidak perlu sepusing sekarang karena pertumbuhan penduduk kota masih relatif rendah. Pada waktu itu penghuni kota sebagian besar masih para penguasa Belanda, priyayi, dan bangsa-bangsa asing yang berdagang disitu. Dari kondisi tersebut tentunya dasar perencanaannya pun tidak begitu berbeda dengan kota-kota di Belanda yang pertumbuhan penduduknya tidak begitu tinggi.
Setelah perang dunia ke II padam dan revolusi teknologi berjalan lebih cepat, kota-kota di Indonesia dan Belanda berkembang lewat sisi yang berbeda. Sekarang di Belanda dan negara-negara maju lainnya, muncul satu sektor ekonomi baru yang disebut sebagai produksi pelayanan (pro¬duction services). Mereka tidak lagi dibuat repot untuk meletakkan daerah perindustrian di kota karena industri-industri otomotif yang memerlukan tenaga kerja murah guna menjaga pangsa pasar, mereka lempar ke negara-negara dunia ketiga. Jangan heran jika orang mengatakan bahwa kota industri terbesar Jerman Barat adalah Sao paolo di Brasil. Sedang pelayanan telepon, perbankan, informasi, menjadi fokus perencanaan mereka. Dilain pihak kota di dunia ketiga dihinggapi satu sektor ekonomi informal yang mengganggu keindahan kota. Kota menjadi magnit urbanisasi, pertumbuhan penduduk yang berlipat ganda membuat fasilitas-fasilitas kota tidak mampu mewadahinya lagi. Membesarnya jumlah penduduk dan membengkaknya mobilisasi yang tidak diikuti oleh pembangunan transportasi masal membuat pelebaran jalan menjadi logika yang sesuai guna pembangunan itu sendiri. Jalan yang dulu oleh Thomas Karsten di perindah dengan pepohonan sekarang harus ditebang karena jalan tadi harus diperlebar.
Kondisi jalan yang semakin tidak manusiawi, telah banyak membuat frustasi manusia. Andreas Harsono pada Kolom Harian Suara Merdeka menulis sebagai berikut:
(...) Pak tua itu hanya mengeluh dalam. Dahulu kala jaman mudanya pulang pergi dari rumah ke kantor biasa ditempuh dengan sepeda............ Waktu itu di tepian jalan penuh dengan pepohonan ............. jalanan jadi teduh. Udara tidak ganas seperti sekarang ........... Tetapi entah mengapa pepohonan itu ditebang satu persatu. Mula-mula di jalan raya .... lalu .... pohon-pohon di jalan yang lain (...) (Andreas Harsono).
Kisah tentang perasaan orang tua akan perubahan teknologi perkotaan yang semakin tidak manusiawi ini menjadi menarik jika dipasangkan dengan tulisan seorang pembaca D.Subroto yang mengajak pembaca lain untuk berangkat ke kantor dengan jalan kaki sehingga ongkos transportasi kota yang Rp 200 sekali jalan itu dapat ditabung untuk membeli bus:
Guna mengurangi kebutuhan transport dikemudian hari secara gotong royong kita melakukan gerak jalan untuk sekali berangkat diwaktu pagi menuju ke kantor/tempat pekerjaan satu kali jalan .....jadi biaya yang Rp 200 ditabung setelah cukup untuk membeli kendaraan bus (...) (D.Subroto)
Ajakan yang bernada humor ini ditekankannya sebagai serius! Satu hal yang menarik dari tulisan-tulisan ini adalah ungkapan rasa frustrasi akan pembangunan kota yang "semrawut" penuh dengan kendaraan bermesin dan menepis pejalan kaki dari jalan yang seharusnya mereka miliki, serta ongkos transportasi kota yang akhir-akhir ini naik menyesuaikan diri dengan harga BBM.
Dua penulis tersebut tentunya mewakili keinginan masyarakat akan perubahan didalam perencanaan kota yang berakibat pada peningkatan kwalitas jalan agar lebih manusiawi. Didalam tulisan saya kali ini, saya tidak akan mempermasalahkan kerindangan, polusi dan sebagainya. Tulisan ini akan menghubungkan jalan dengan gubahan masa arsitektur di kedua tepinya. Untuk itu perlu kiranya kita bedakan 3 macam kota yang berbeda perubahan besarnya secara arsitektur.
No comments:
Post a Comment