Tuesday, May 5, 2015

Eksterior dan Interior

Form Follows Function: Wainright Building Karya Louis Sulivan

Dengan perkembangan alat komunikasi yang luar biasa, menjadikan proses alih teknologi semakin mudah dilakukan. Teknologi bangunan yang baru diketemukan di Amerika Serikat, dengan cepat diketahui dan dipakai di Indonesia. Sayang transformasi teknologi ini tidak diimbangi dengan pemikiran seni bangunannya secara kreatif. Sehingga bentuknya pun ditransfer begitu saja.

Bentuk eksterior polos, sederhana, yang mula-mula diterima sebagai bentuk yang ideal, menjamur di tengah kota. Bahkan ada yang berani mempergunakan kaca sebagai dinding pembatas ruang luar, sehingga menyilaukan mata. Sebagai jawaban atas kelemahan-kelemahan artitektur 'Internasional' ini, muncul berbagai gerakan yang mencoba menggali bentuk arsitektur melalui pelbagai macam disiplin ilmu, termasuk archeologi, semiologi, sosiologi.

Sampai akhirnya muncul Post Graduate Center Group dari Katholieke Unlversiteit Leuven yang memperkenalkan satu analisa urban guna mencari kemungkinan-kemungkinan bentuk arsitektur masa depan. Melalui riset yang disebut 'Architecture in development', aliran yang mengamati perubahan bentuk artifak (masa dan ruang) dari semenjak didirikan hingga sekarang akibat cara hidup manusia. Diketengah-kan dua metode yang berurutan, yaitu 'historical reading', meng-analisa urut-urutan perubahan bentuk artifak di masa lalu, dan 'tissue analysis’, menganalisa keadaan artifak saat kini.
 
Tetapi cara penggalian seni bangunan baru seperti ini masih kurang tajam untuk kondisi Indonesia. Sebab akan menemui banyak kesulitan di dalam mengetengahkan 'historical reading'-nya, mengingat sulitnya data-data bentuk artifak di waktu-waktu lampau. Juga perubahan bentuk artifak yang ada sekarang ini seakan-akan dipaksakan oleh derap pembangunan yang begitu cepat, sehingga perubahan-perubahan bentuk tersebut tidak saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

Akhirnya perlu dipasok satu teori lagi yaitu 'kontradiksi' yang lahir dari seorang arsitek Amerika Serikat, Robert Ventury (Robert Ventury, Complexity and Contradiction in Architecture). Di dalam bukunya yang terbit pada tahun 1966, ia ingin menjawab dua diktum, 'Less is more' dan 'Form follows function' dengan 'Complexity' dan 'Contradiction'. Tetapi agaknya hanya yang 'Contra¬diction' yang pas dengan 'Architecture in development', sintesa antara keduanya merupakan ujung tombak yang maha tajam guna menciptakan arsitektur identitas di Indonesia.

Menyimak diktum ‘Form follows function' yang dicetuskan oleh Sullivan, langsung kita tahu bahwa maksudnya adalah; eksterior sebagai wujud masa dan ruang harus mengartikulasikan interior, inhibitasi di dalamnya. Berarti pula bahwa setiap kali inhibitasi berubah, artikulasi eks-teriornya juga berubah. Karena Inhibitasi berganti-ganti sesuai dengan zamannya, maka bentuk artifak ikut berubah-ubah dan artikulasinya menjadi tidak menentu.

Dalam skala perkotaan, 'form follows function' mengandung makna perubahan masa dan ruang kota secara terus menerus sesuai dengan perubahan cara hidup manusia kotanya. Artikulasi berubah, citra urban berganti-ganti, dan kota pun kehilangan identitasnya.
 
Namun Robert Ventury membantah diktum tersebut. Dari penelitiannya selama sepuluh tahun dl Italia, ia menyimpulkan bahwa eksterior yang dipaksakan untuk mengartikulasikan interior, justru menimbulkan kebosanan. Manusia menyukai kejutan-kejutan, maka kontradiksi antara eks¬terior dan interior adalah ungkapan arsitektur yang benar. Interior mengikuti fungsi, inhibitasi, tetapi eksterior meng-artikulasi-kan 'yang lain!'.

Jika kita ingin mengakhiri krisis identitas dengan memper-tahankan citra arsitektur lama, tentunya 'Historical reading' dan 'tissue analysis' merupakan pengisi 'Yang lain' tersebut di atas.

No comments:

Post a Comment