Tuesday, April 28, 2015

Kisah Tiga Macam Kota

Paris

Tiga jenis kota tersebut adalah 'grossstadt', 'Metropolis',dan 'Contra-evolution' city. Grossstadt adalah kota yang telah besar sejak berabad-abad yang lalu dan telah memiliki peran yang penting untuk perdagangan baik secara nasional ataupun international. Misalnya saja Paris pada tahun 1801 telah berpenduduk setengah juta jiwa, kemudian di tahun 1901 setelah revolusi industri membengkak menjadi 3 juta jiwa.  Sebuah urban yang matang telah terbentuk berabad-abad yang lalu.

Dilain pihak, Metropolis adalah kota yang membengkak secara mendadak misalnya New York, tahun 1801 baru berpenduduk 33.000 jiwa, tetapi pada tahun 1901 telah menjadi 3.500.000.  Densifikasi yang "ganas" tadi disebut Rem Koolhaas sebagai "budaya pemadatan" (Culture of Congestion).  Jalan yang pada seratus tahun yang lalu di kedua sisinya masih berdiri rumah-rumah bertipe villa, sekarang telah berubah menjadi bangunan pencakarlangit. Kota-kota berkarakter Metropolis selain tumbuh di Amerika Utara, juga di negara-negara dunia ke III seperti Indonesia. Semarang misalnya, pada tahun 1815 masih berpenduduk 154.660.  Pada tahun 1980 telah menjadi 1.026.671.  Tidak mengherankan jika Simpang Lima yang 30 tahun yang lalu masih berupa rawa sekarang telah menjadi jalan yang paling mewah di kota ini. Metropolis adalah teater pentas kemajuan ia merupakan panggung terbuka untuk tempat pesta poranya teknologi, penuh hura-hura. Namun ia pula bak lembah masalah sosial yang menyengsarakan manusia.

Pada "Grossstadt" di Eropa, jalan bukan hanya untuk kendaraan bermesin saja tetapi juga manusia, bahkan manusia mendominasi pusat-pusat kota yang tertutup oleh kendaraaan. Jalan menjadi perwujudan arsitektur kota yang komunikatif serta manusiawi. Bertentangan dengan keadaan ini adalah kota-kota metropolis di Negara dunia ke III seperti Semarang. Disini jalan bukan hanya sebagai "garis" temu antara manusia dengan manusia, juga manusia dengan segala macam alat transportasi. Lihat saja jalan dr.Cipto: Di pinggir kini penuh dengan manusia, baik mereka yang pejalan kaki, calon penumpang bus yang dapat berhenti di seberang tempat, atau berjalan pelan sambil menaikkan penumpang, tukang bakso dan es, tukang becak yang menentang arus. Agak ke tengah adalah arus kendaraan dengan kecepatan sedang tetapi "semliwer" artinya jangan kaget  jika ada kendaraan dari belakang membelok ke kiri di depan hidung anda secara mendadak. Di pinggir kanan adalah "highway" dengan kendaraan yang berkecepatan tak terbatas. Semrawut! Satu sistem yang tak terstruktur dan terletak pada jalan yang terus menerus dilebarkan. Satu "street picture" diganti dengan "street picture" yang lain. Di lain pihak pusat kota lama sebagai cikal bakal Semarang yang dulu sebagai tempat orang kaya melakukan transaksi perdagangan, sekarat dan tercabik-cabik, terbengkalai. Pusat kota telah bergeser!

Yang ketiga adalah "Contra-evolution city", yakni kota yang mengkerut. Jenis ketiga inilah yang selalu tertinggal dari arena diskusi arsitektur. Transformasi dari kota yang hidup menjadi sekarat. Jalan yang dulu rapi sekarang ditumbuhi rerumputan dan dikelilingi puing-puing rumah serta semak belukar. Contoh yang tepat adalah Lasem yang ditahun 1815 berpenduduk 50.972  pada tahun 1983 merosot jadi 24.065,  separonya!

No comments:

Post a Comment